Lincak

Karakter Bangsa

SUDAH sejak tadi Pak Karso menunggu tamu-tamunya, dia mulai bergegas menyiapkan tempat duduk di lincaknya. Ada hal yang membuatnya gelisah dan berpikir agak keras yaitu tentang karakter bangsa.

Dia sangat mengharapkan Pak Guru Hadi sore ini hadir menemani mengurai kegelisahannya itu. Justru Mas Tomo, seorang mahasiswa yang duluan hadir, lalu tiba-tiba datang dan menyentak bertanya kepada Pak Karso.

“Baik mana kebaikan perilaku antara orang-orang tua dulu dengan anak-anak sekarang, Pak?” Pertanyaan itu membuat semakin bingung dan gundah pikiran Pak Karso.

Saat sedang berpikir akan menjawab, tiba-tiba pak Guru Hadi datang dan lalu menimpalinya dengan seloroh, “Itulah yang menjadi masalah kita Nak Tomo, kini terjadi saling mengklaim seakan produk pendidikan masa lalu lebih baik dibandingkan produk pendidikan masa kini. Tentu bagi saya seorang guru merasa terpojokkan, seakan tidak berhasil mendidik anak-anak kita berperilaku baik”.

“Menurut pendapat saya, bahwa berbicara tentang mendidik berperilaku baik adalah membentuk karakter. Membentuk karakter adalah mendidik untuk bisa berperilaku baik. Tentang baik mana antara generasi dulu dan sekarang tidak perlu dipertentangkan, yang terpenting adalah bagaimana agar perilaku baik tersebut bisa menjawab tuntutan di zamannya, dan itulah karakter. Sedangkan karakter adalah sifat khas, kualitas dan kekuatan moral pada seseorang atau kelompok, dapat meliputi watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian yang terbentuk dari hasil internalisasi nilai-nilai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak,” sergap Pak Karso.

“Membentuk karakter tidak serta merta bisa dalam waktu singkat dan tidak bisa dibebankan hanya kepada guru saja, tetapi juga kepada orang tua, masyarakat dengan peran tokohnya dan lingkungan sosial di mana seseorang [anak] itu hidup. Jadi Pak Hadi tidak harus merasa bersalah jika dituduh demikian. Membentuk karakter adalah tanggung jawab bersama.” tambahnya.

“Syukurlah Pak Karso kalau demikian, saya merasa ringan beban psikologis yang harus ditanggung,” sahut Pak Hadi.

“Dari yang saya pahami dari UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang [RPJM] 2005-2025 bahwa karakter bangsa Indonesia yang diharapkan adalah kondisi seseorang yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya dan berorientasi Iptek berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan YME. Jadi, harapannya generasi bangsa kita ini bisa berperilaku seperti demikian itu. Dan, kalau mengacu rumusan harapan tersebut kita dapat bertanya kepada masing-masing diri kita, keluarga kita, tetangga kita, teman kita dan orang-orang di sekitar kita apakah sudah seperti itu?,” Pak Hadi menambahkan.

“Waduuuh, masih jauh panggang dari api,” sahut Mas Tomo. “Saya sendiri sebagai mahasiswa rasanya masih perlu pengembangan dan peningkatan diri agar memenuhi harapan tersebut. Juga tampaknya teman-teman saya, tetangga saya bahkan keluarga saya masih jauh dari harapan tersebut.”

“Lalu, harus bagaimana dan apa usaha kita,” tanya Lik Tulus yang sejak tadi sudah ikut duduk di lincak ini.

“Kalau usul saya, kita perlu melakukan pendidikan karakter bangsa, yaitu suatu usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai sehingga terinternalisasi dalam diri peserta didik yang mendorong dan mewujud dalam sikap dan perilaku yang baik pada setiap warga bangsa,” sahut Pak Karso. Ia lalu melanjutkan penjelasannya.

“Misalnya, dalam proses pendidikan Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita dan tidak bisa dipisahkan darinya. Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara tersebut bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti [kekuatan batin, karakter], pikiran [intellect] dan tubuh anak dan bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Demikian juga tentu yang dimaksud pendidikan bukan saja mencakup kegiatan anak di sekolah saja, tetapi juga di keluarga dan di lingkungan luar sekolah yang lebih luas”.

Lik Tulus terus bertanya lagi, “Untuk apa sebenarnya esensinya kalau anak-anak kita bisa berkarakter bangsa seperti itu?”

“Kita pada saat ini sedang hidup dalam masa dan tuntutan perkembangan yang luar biasa cepat berubah yang kita kenal dengan globalisasi,” jawab Pak Karso.

Lalu, Pak Karso menjelaskan bahwa bersaing dan bersanding dengan negara dan bangsa lain sudah menjadi suatu keharusan atau keniscayaan. “Itulah karenanya kita dan anak-anak kita harus berdaya saing tinggi. Menurut pendapat saya, daya saing itu menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini, dan dapat diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu bergantung pada faktor-faktor yang menentukannya dan harus terus dipupuk dan dikembangkan. Peradaban yang menyerbu kita dapat dibaratkan semakin binal, seperti kuda liar. Karena itu, maka kita harus bisa menyiapkan generasi yang berkarakter baik untuk bisa menaklukkan kuda liar peradaban tersebut. Kita sebagai individu haruslah berkarakter baik, demikian juga sebagai lembaga juga harus berkarakter baik agar individu-individu yang ada di dalamnya itu tetap terjaga sebagai yang berkarakter baik pula. Kita mendambakan pemerintah, pers, tokoh politik, pejabat, tokoh masyarakat, pengusaha, guru, pegawai dan semua saja unsur bangsa ini yang berkarakter baik,” papar Pak Karso panjang lebar.

“Terima kasih Pak Karso,” jawab Lik Tulus lega.

Tapi bagi Pak Hadi, sebagai guru menyisakan pertanyaan lagi. ”Apa strategi yang harus dilakukan agar pembangunan karakter bangsa bisa dilakukan dan tercapai sesuai harapan?” Tanya Pak Hadi.

Dalam hal ini, setidaknya ada lima strategi yang pernah dirumuskan oleh Kemenko Kesra (2010). Pak Karso menyebutkan, pertama, melakukan sosialisasi, yaitu bentuk penyadaran kepada semua pemangku kepentingan akan pentingnya karakter bangsa. Misalnya media cetak dan elektronik pun perlu berperan serta dalam produksi berita atau siarannya yang seharusnya lebih mengedepankan menjadi tuntunan daripada sekadar tontonan. Kedua, melalui Lembaga Pendidikan Formal (satuan pendidikan), Pendidikan Nonformal (kegiatan keagamaan, kursus, pramuka dan sejenisnya), Pendidikan Informal (keluarga, masyarakat, dan tempat kerja), dan Forum Pertemuan (seperti kepemudaan) melakukan Pendidikan karakter. Ketiga, pemberdayaan masyarakat dengan memberdayakan semua pemangku kepentingan (orang tua, satuan pendidikan, ormas, dsb.) agar dapat berperan aktif dalam pendidikan karakter. Keempat, pembudayaan perilaku berkarakter yang dibina dan dikuatkan dengan penanaman nilai-nilai baik dan terpuji dalam segala kehidupan agar menjadi budaya bagi setiap orang. Misalnya perlu ditanamkan kepada setiap kita bersifat dan berperilaku baik seperti jujur, adil, disiplin, bertanggung jawab, peduli sesama, kerja sama, dan bervisi jangka panjang. Berperilaku baik (akhlaqul karimah) adalah keharusan bagi setiap orang. Ia akan merasa malu jika tidak melakukannya, demikian juga jika ada orang lain yang melihat atas perbuatan yang tak terpuji akan mencelanya dan berusaha menghindarinya. Dan, kelima adalah komitmen bekerja sama secara sinergis antara semua pemangku kepentingan bangsa untuk menjadi bangsa yang berkarakter baik dan berdaya saing tinggi.

“Senang saya mengikuti sarasehan ini,” sahut Mas Tomo. “Saya menjadi jelas tentang pentingnya membangun karakter bangsa. Memang masih banyak hal yang harus diperbaiki pada diri kita dan orang-orang di sekitar yang kita cintai, agar ke depan lebih berkarakter bangsa seperti yang kita harapkan”.

Coba kita ingat ada ungkapan bahwa “If you lose your character, you lose everything”. Jika kita kehilangan karakter, maka kita akan kehilangan segalanya dari bangsa ini. Salam.

(Ravik Karsidi, Lincak Solo Pos, Edisi Minggu, 6 November 2016)

 

 

 

 


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×