Lincak

SKTM

PAK Hadi sudah agak lama tidak bertemu Pak Karso karena selama Bulan Puasa jagongan di lincaknya diliburkan, alias absen. Setelah saling berhalalbihalal keduanya lalu saling ngudarasa tentang kejadian di sekitar mereka. Kali ini Pak Hadi membuka dan lalu bertanya tentang kebohongan.

Dalam pandangannya, kebohongan adalah lawan dari kejujuran. Dia ingat ada sebuah sabda Nabi Muhammad SAW bahwa sesungguhnya kejujuran itu ketenangan, sedangkan kebohongan itu adalah keraguan. Lalu ia membahasnya, memahami sabda Nabi tersebut bahwa biasanya seseorang yang sudah telanjur bohong, maka akan muncul perilaku bohong berikutnya untuk menutupi kebohongan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dia menjadi tidak tenang, terus dalam keraguan, khawatir kalau kebohongannya akan terungkap. Begitu selanjutnya lalu terus berkepanjangan, sambung- menyambung, lalu bohong itu akan tiada henti.

Pak Karso pun menimpali, “Mengapa Pak Hadi menyampaikan bahasan tentang kebohongan? Toh sebenarnya bohong adalah fakta sosial dalam kehidupan manusia selalu ada, bahkan hampir tidak ada hari di masyarakat tanpa kebohongan tersebut. Orang disebut bohong bisa jadi karena mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitasnya. Kebohongan sering dapat diartikan dengan men- ’tidak’-kan dari apa yang sesungguhnya seperti apa adanya.

Pak Hadi terus risau, lalu menjelaskan tentang kejadian yang akhir- akhir ini marak di masyarakat di sekitar lincak Pak Karso, yaitu cukup banyak orang yang sebenarnya tidak miskin tetapi mengaku miskin. Ia rela diberi ”stempel” sebagai miskin, padahal sebenarnya tidak miskin. Untuk semata-mata kepentingan yang sangat pragmatik, seseorang lalu mencari surat miskin yang dikenal sebagai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Itulah pertanyaan Pak Hadi, “Mengapa ya Pak Karso, orang kok sampai sebegitunya berperilaku bohong?”

Pak Karso lalu menjelaskan bahwa kata ‘bohong’ (yang kata kerjanya adalah berbohong) juga sering dikatakan dengan ungkapan ‘dusta’ (kata kerjanya adalah berdusta) yang keduanya tersebut ditimbang secara ukuran moral. Kata ‘dusta’ cenderung digunakan pada saat bohong dilakukan, sekaligus adanya pengingkaran terhadap sesuatu yang diyakini benar oleh umumnya masyarakat. Perilaku bohong juga ada hubungannya dengan kepribadian seseorang, bahkan perilaku bohong sering digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan tertentu.

Misalnya, orang berbohong atau membohongi untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain. Sesuatu fakta dimanipulasi sesuai kehendaknya untuk menggapai tujuan tertentu. Dalam bidang psikoterapi (oleh banyak ahli seperti ditulis dalam psikoterapis.com) dikenal ada istilah tipe orang yang berperilaku manipulatif, yaitu mereka yang bisa memanfaatkan kebohongan untuk kepentingan dirinya. Dikenal juga tipe kepribadian orang manipulatif tersebut, yakni sering disebut tipe kepribadian machiavellianism.

“Mereka terkadang justru menunjukkan perilaku hormat kepada orang lain secara moralitas, tetapi kadang juga secara terbuka mengakui bahwa ia berbohong, menipu dan memanipulasi orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka ini orang yang menghalalkan segala cara dalam kehidupan dan mereka biasanya ambisius,” jelas Pak Karso.

“Lalu mengapa sikap dan kepribadian machiavellianism tersebut muncul di masyarakat kita saat ini ya Pak,” sahut Lik Tulus yang sejak tadi sudah ada di lincak tersebut. “Umumnya begini Lik,” jelas Pak Karso.

Salah satu penyebab perilaku bohong tumbuh bisa pada masyarakat yang memiliki perbedaan kelas-kelas sosial. Ada orang yang kaya, ada yang miskin. Ada orang yang bisa menjadi di posisi kelompok atas, ada yang hanya bisa menjadi kelompok bawah. Dalam kasus SKTM, karena dalam klasifikasi sekolah-sekolah kita selama ini ada sekolah favorit atau ranking atas, dan di sisi lain ada sekolah yang tidak favorit atau ranking bawah, maka terjadi secara tidak disadari adanya perebutan posisi bagaimana seseorang bisa menempati posisi di atas tersebut.

Perebutan status dan posisi inilah yang menggoda orang lalu tergelincir pada perilaku berbohong dengan segala cara termasuk tega memalsukan keterangan diri sebagai orang tidak mampu. Dalam kehidupan di masyarakat juga dikenal apa yang disebut kelas sosial, yang juga bisa berimplikasi pada munculnya beragam tata krama untuk terutama di kalangan kelompok bawah yang berusaha menyesuaikan perilaku dengan kelas-kelas sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya. Adanya perbedaan kelas sosial menunjukkan adanya hierarki.

Seseorang yang lebih baik dari segi apa pun, baik itu harta, pengetahuan, penampilan atau lainnya, tentu akan menempati hierarki lebih tinggi dibandingkan yang lain. Nah, agar seseorang seakan menempati posisi lebih tinggi atau sama dalam suatu hierarki sosial, maka seseorang berupaya melakukan ”manajemen kesan” atau sering kita sebut pencitraan, supaya terlihat lebih baik. Ia lalu tampil berpura-pura, berperilaku meniru menyamakan dengan hierarki di atasnya agar tampak seakan seperti di atasnya tadi. Hal inilah yang mendorong orang berperilaku pura-pura atau bohong. “Perilaku bohong juga bisa tumbuh pada masyarakat yang pada relasi sosialnya terdapat dominasi kelompok tertentu,” lanjut Pak Karso.

Seseorang tentu akan menghadapi yang lebih berkuasa dengan cara berbeda dengan ketika menghadapi yang kurang berkuasa. Pihak yang kurang berkuasa khawatir akan mendapatkan hukuman dari yang berkuasa jika mengatakan kebenaran yang sebenarnya, dan oleh karena itu, diungkapkanlah kebohongan. Dalam kasus SKTM ini, pada saat ini dapat dijelaskan bahwa kekuasaan pemerintah (pejabat pusat maupun daerah) masih dominan menguasai sekolah- sekolah penyelenggara penerimaan siswa baru. Misalnya, adanya Permendikbud No. 14/2018 yang mensyaratkan sekolah wajib menerima siswa dari keluarga miskin dengan jumlah minimal 20%, membuka peluang munculnya perilaku kebohongan baik oleh yang membutuhkan maupun yang berkuasa mengeluarkan SKTM tersebut. Ada relasi antarkeduanya dalam berperilaku bohong, yang kita kenal dengan surat ‘aspal’, asli suratnya tetapi palsu isinya. Itulah yang sering disebut demoralisasi penggunaan SKTM.

Mas Tomo, pemuda kampung yang sejak tadi juga ikut ngobrol ikut menyahut dengan pertanyaan idealis, “Adakah bentuk masyarakat yang tanpa kebohongan, ya Pak?”

Pak Hadi juga lalu menimpali, “Kalau mengacu pada penjelasan Pak Karso tadi, maka pertanyaannya justru adakah masyarakat yang benar-benar setara, di mana tidak ada kelas sosial, tidak ada relasi yang mendominasi, dan tidak ada tata aturan norma yang mengikat kepatuhan? Sebab hanya di masyarakat yang setara, masyarakat yang toleransinya tinggi, dalam suasana mampu saling menghargai dan menghormati perbedaan satu sama lain, yang akan bisa menghindarkan terjadinya perilaku kebohongan di antara mereka. Semoga masyarakat kita ke depan bisa menuju pada suasana saling bisa menerima apa adanya dalam harmoni perbedaan.”

Kebohongan tampaknya sulit dihilangkan, paling mungkin yang bisa dilakukan hanyalah dikurangi dan dikendalikan. Kita pun kalau bisa jangan membuat aturan yang justru bisa mendorong timbulnya perilaku kebohongan. Salam takzim.

(Ravik Karsidi, Lincak, Solo Pos, edisi Minggu, 15 Juli 2018)


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×