Lincak

Wawasan Kebangsaan

DI PENGUJUNG sore kemarin, Pak Karso di lincaknya merenung dan bertanya dalam hati. Dia masygul mengapa akhir-akhir ini seakan terjadi disorientasi dan pudarnya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa di masyarakat.

Apakah benar terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan mungkinkah ini tanda memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Kalau benar demikian itu, apakah berarti ini tanda ancaman disintegrasi bangsa. Kalau benar demikian, apakah ini merupakan pertanda melemahnya kemandirian bangsa? Sangat resah dan hati-hati merenung, tetapi pemikiran itu menghantuinya terus menerus.

Di tengah kegelisahannya tersebut, Pak Guru Hadi menghampirinya dan berseloroh, “Saya lihat sejak tadi Pak Karso tampak murung. Kenapa?”

“Akhir-akhir ini saya melihat berbagai peristiwa yang cenderung menunjukkan bangsa Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis visi dan karakter kebangsaan. Bangsa ini seolah-olah kehilangan jati diri dan arah dalam mencapai cita-cita luhur para pendiri republik ini [the founding fathers],” jawab Pak Karso.

“Apa itu maksudnya Pak Karso? Kok tampaknya serius, ya?”

“Benar, Pak Hadi. Saya sedih memikirkan hal ini. Dulu, Indonesia ini hadir tidak lepas dari konsep kehadiran sebuah negara bangsa [nation state] yang tumbuh dari kesadaran nasionalisme para pejuang dan pendiri bangsa.”

Pak Karso kemudian mengulas hal itu. Menurut Ernest Renan (1882) bangsa ini hadir bukan dikarenakan adanya kesamaan budaya, suku, ras, etnisitas, agama dan pertimbangan-pertimbangan ikatan primordialisme yang lain, tetapi lebih menekankan pada adanya kesamaan nasib dan keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah komunitas bangsa, yaitu di kawasan Nusantara ini.

Sejak berdiri, bangsa Indonesia adalah sebuah komunitas pascaprimordial di mana realitas pluralisme dan multikulturalisme (keanekaragaman dan kemajemukan) bukan lagi dipandang sebagai masalah, tetapi sebagai sebuah realitas objektif pembentuk bangsa dan merupakan modal utama bangsa Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika. Bahkan, kemajemukan bangsa Indonesia ini, menurut Benedict Anderson (1983), perlu dipahami sebagai suatu realitas konstruksi sosial dari komunitas-komunitas terbayang (imagined communities). Kemajemukan yang tergambar dalam ujar-ujar “Bhinneka Tunggal Ika” bertujuan membangun solidaritas yang positif, baik pada level nasional atau level yang lebih kecil.

“Kalau menurut saya, persoalannya adalah bagaimana agar kita dapat memelihara semangat Bhinneka Tunggal Ika itu? Bagaimana kita dapat membangkitkan dan menumbuhkan rasa nasionalisme atau rasa tanggung jawab kebangsaan tersebut? Begitu kan, Pak Karso,” kata Pak Guru Hadi seraya minta penjelasan.

“Menurut saya, muaranya pada wawasan kebangsaan dengan membina rasa nasionalisme, yaitu rasa berkebangsaan dan kesadaran diri yang mampu meningkatkan terwujudnya kecintaan yang melimpah kepada Tanah Air dan bangsa sendiri. Sedangkan sikap nasionalisme itu sendiri adalah perekat yang akan mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai bangsa. Sikap nasionalisme tersebut tidaklah dapat dinyatakan adanya, tetapi hanya dapat diketahui gejala dan bukti keberadaannya,” lanjut Pak Karso.

“Jadi, kita harus membina sikap nasionalisme tersebut pada diri kita masing-masing dan lingkungan kita ya, Pak?” tanya Mas Tomo yang sejak tadi bergabung di lincak ini.

“Persoalannya sekarang adalah nasionalisme kita dewasa ini tampaknya mulai tergradasi oleh adanya arus globalisasi. Lalu, mengapa hal ini terjadi,” lanjut Mas Tomo.

“Begini Nak Tomo, kebangsaan Indonesia di masa depan bukanlah nasionalisme yang bersifat fisik seperti saat kita berusaha mencapai kemerdekaan, tetapi harus lebih dimaknai sebagai nasionalisme kultural yang lebih menghargai kemanusiaan dan kebudayaan bangsa. Dalam konteks yang demikian, maka kita masing-masing harus dapat mengambil peran yang strategis sebagai pioner, inisiator, motivator sekaligus aktor yang terlibat secara langsung dalam membangun wawasan kebangsaan Indonesia di era globalisasi ini, antara lain melalui pendidikan kebangsaan yang aktual dan kontekstual,” jelas Pak Hadi.

“Masalahnya, saat ini banyak terjadi di masyarakat kita sikap-sikap yang bertentangan dengan nasionalisme, lho Pak,” kata Pak Karso.

Yang terjadi di masyarakat, muncul egoisme kelompok yang berlebihan atau sikap keras merasa benar sendiri mempertahankan pendiriannya dengan menghalalkan segala cara yang tidak terpuji. Juga adanya tindakan teror atau terorisme yang bertujuan menciptakan kepanikan kelompok lain, bahkan berkembangnya keresahan dan suasana tidak aman dalam masyarakat. Ada juga sikap mementingkan daerah, suku, agama, ras, dan antargolongan sendiri, bahkan separatisme atau sikap ingin memisahkan diri dari NKRI dan hal-hal lain yang sejenis.

“Lalu, harus bagaimana menyikapi ini, Pak Karso?” tanya Lik Tulus yang juga menyimak sejak tadi.

“Ya tidak ada cara lain, kecuali kita harus mengembangkan sikap yang mendukung nasionalisme. Marilah kita bersama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, rela berkorban demi bangsa dan negara, bangga sebagai bangsa dan bernegara Indonesia. Kita kembangkan bersama dalam diri kita untuk bisa mendahulukan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Lalu berusaha terus menjaga nama baik bangsa, berprestasi dalam berbagai bidang untuk mengharumkan bangsa ini, dan tetap setia serta waspada dalam menghadapi masuknya dampak negatif globalisasi ke Indonesia. Semoga Allah Tuhan YME meridai, aamiin,” kata Pak Karso.

(Ravik Karsidi, Lincak edisi Minggu 12 Februari 2017)


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×