Lincak

Tontonan dan Tuntunan

PAK Karso kelihatan mesam-mesem sambil menunggu sahabat- sahabat ngobrolnya sore itu. Dalam beberapa hari lalu di kampungnya sedang diadakan pentas wayang kulit dan ketoprak dalam rangka ”sedekahan desa”, memperingati permulaan desanya dihuni orang.

Tak lama kemudian Lik Tulus datang menghampiri seraya bertanya, “Kok tumben tampak riang, Pak? Saya lihat dari kejauhan Pak Karso kok mesam-mesem, seperti ada sesuatu yang menyenangkan sedang dipikirkan?”

“Benar Lik, saya sedang memikirkan ucapan pak Dalang beberapa hari lalu bahwa kesenian tutur itu seharusnya merupakan kegiatan seni yang mempunyai nilai tontonan dan sekaligus tuntunan. Itu pernyataan yang penting sekali bagi kita yang menikmati karya kesenian. Katanya, selain seseorang menonton pergelaran atau pentas panggung hingga selesai, setelah para penonton pulang seharusnya bisa membawa suatu hikmah tertentu yang akan menjadi bekal di kehidupannya. Itulah yang dimaksud sebagai tuntunan.”

“Wah, sae niku Pak Karso,” sahut Lik Tulus sambil kembali bertanya, “Apakah panggung pagelaran kesenian wayang dan ketoprak yang baru saja ditanggap Pak Lurah kita beberapa waktu lalu itu hanya bernilai tontonan saja atau juga punya nilai tuntunan, Pak?”

“Itulah yang saya pikirkan sejak tadi Lik,” jawab Pak Karso. “Misalnya yang pernah diungkapkan oleh Pakde Karwo Gubernur Jatim (beberapa waktu lalu di dalam salah satu acara nanggap wayang), katanya bahwa tuntunan jauh lebih penting dibanding tontonan. Arahan atau tuntunan yang diberikan kepada masyarakat akan mudah diterima jika disertai dengan tontonan. Tetapi jika tontonan panggung kesenian disajikan hanya semata sebagai tontonan, maka nilai pertunjukan itu hanya bernilai rendah. Kelihatannya wayang kulit yang digelar-tanggap Pak Lurah kita tidak saja bernilai tontonan tetapi juga bernilai tuntunan. Yang hadir rata-rata senang bisa merasakan happy, bisa menikmatinya dan ada makna terselipkan oleh ki dalang berupa ajaran-ajaran adiluhung moralitas dan semangat untuk bisa hidup lebih maju dan bertindak lebih baik.”

Tak lama kemudian datanglah Mas Tomo, pemuda kampung ini. Tomo lalu ikut nimbrung. “Bagaimana dengan tontonan ketoprak yang juga digelar di kampung kita kemarin, Pak. Apakah juga ada nilai tuntunannya?”

“Begini Nak Tomo, ketoprak itu merupakan seni panggung yang khas terutama melalui ceritanya yang mempertunjukkan kisah-kisah masyakarat di Jawa masa lalu, baik kisah legenda, kepahlawanan, ataupun kehidupan sehari-hari. Sebagai kesenian yang lahir dari rakyat, ketoprak lebih kental dengan ungkapan yang bersifat spontan, improvisasi dan tidak terlalu terikat aturan-aturan baku yang formal. Lakon dari suatu pentas ketoprak biasanya mengandung unsur sejarah, pendidikan atau ajaran sekaligus menjadi hiburan yang digemari masyarakat. Jadi di sini jelas bahwa ketoprak selain memiliki ciri sebagai tontonan juga punya makna sebagai tuntunan.”

Pak Karso menambahkan, dulu, pagelaran seni wayang kulit dan ketoprak sering digunakan sebagai media komunikasi dua arah yang berperan penting dalam penyuluhan program-program pemerintah di bidang ekonomi, budaya dan media komunikasi di masyarakat. Para penyuluh pembangunan berusaha menyisipkan pesan-pesan perubahan bagi para penonton. Sebenarnya yang ditampakkan secara umum adalah tontonan yang bersifat menghibur, tetapi di balik itulah yang berisi pesan-pesan moralitas, nilai, semangat dan ajakan untuk berkemajuan.

“Apakah ada fungsi pendidikan dari pagelaran kesenian seperti wayang kulit dan ketoprak?” tanya Pak Dwijo yang sejak tadi ikut mendengarkan obrolan.

“Benar Pak Dwijo,” kata Pak Karso. “Tokoh dan lakon wayang atau ketoprak sering dijadikan panutan tertentu bagi para penonton yang menikmatinya. Di sini para seniman ketoprak atau dalang dari wayang memiliki misi yang ingin disampaikan melalui dialog, gerakan dan bahkan tarian atau acara selingan, seperti gojekan atau limbukan. Oleh dalang wayang kulit atau pemeran lakon ketoprak, disampaikan pelajaran yang bermakna, baik dalam dialog dan alur ceritanya serta gerakan-gerakan yang ditampilkan. Jadi, ya sarat dengan nilai pendidikan.”

Menurut Pak Karso, sebagai sebuah seni pertunjukan, wayang dan ketoprak sangatlah menghibur dan disukai penontonnya. Kesukaan masyarakat terhadap dua jenis kesenian ini, terutama karena kemasan dan sajiannya yang ringan, tidak serius dan sering diselingi dengan hiburan. “Di situlah selang-seling antara fungsi tuntunan dan tontonan dimainkan,” jelas Pak Karso.

“Sebagai anak muda rasanya saya dan teman-teman sudah mulai sulit untuk bisa menyenangi pentas seperti wayang kulit dan ketoprak karena durasi sajiannya sangat panjang. Padahal saat ini sudah mulai banyak sajian kesenian dalam durasinya yang pendek antara satu sampai dua jam saja. Bahkan, sajian-sajian kesenian juga sudah mulai disajikan dalam bentuk digital yang sangat gampang diunduh oleh setiap orang. Bagaimana menyikapi ini, Pak?” tanya Mas Tomo.

“Itulah tantangan bagi para kreator dan pelaku seni jaman now.

Harusnya para seniman juga bisa mengubah cara pandangnya untuk memahami tuntutan perubahan jaman now ini. Kalau perlu buatlah sajian pentas wayang yang hanya 1-2 jam saja, diringkas dari yang sebelumnya merupakan sajian semalam suntuk. Media sajinya juga bisa mengikuti zaman digital, seperti ketoprak yang digelar di kampung kita kemarin sudah bisa diikuti juga oleh penonton di seluruh dunia dengan streaming melalui YouTube. Walaupun tidak hadir di tempat pentas secara langsung, tetapi penonton bisa menikmatinya dari rumah atau dari mana saja, jadi murah biayanya,” jelas Pak Karso.

“Wah keren ya Pak,” ujar Mas Tomo sembari tersenyum. Obrolan lantas berakhir seiring senja yang menjelang.

(Ravik Karsidi, Lincak Solo Pos, edisi Minggu, 25 Mar 2018)


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×