Lincak

Mahasiswa dan Bela Negara

BEBERAPA anak muda sedang bersantai kongko di lincak Pak Karso sore itu. Mereka rata-rata lulusan SMA dan SMK serta beberapa dari madrasah. Ada yang senang karena diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur apresiasi prestasi dan rapornya (SNMPTN) dan sebagian juga diterima di perguruan tinggi swasta (PTS).

Sebagian yang lain masih murung karena akan menghadapi ujian seleksi tulis PTN pekan depan. Lainnya masih menunggu seleksi PTS. Di tengah-tengah mereka sedang bersenda gurau, datang Pak Karso menghampiri disusul Pak Hadi.

Salah satu dari mereka, Roni, langsung bertanya kepada dua orang tua tersebut. “Apa yang kami lakukan jika tidak diterima di PTN? Apa saran bapak-bapak kepada kami ini, apa yang harus kami lakukan?”

”Kalau belum lolos seleksi di PTN toh masih banyak PTS yang juga bagus kualitasnya. Daftar saja ke PTS,” sahut Pak Hadi.

Saat ini PTN dan PTS sama saja, yang membedakan adalah jenis tingkatan akreditasinya. Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT biasanya membuat peringkat: A itu artinya sangat bagus dan unggul; B bagus; dan C cukup bagus.

“Kalau bisa jangan mendaftar ke PT yang belum atau tidak terakreditasi sebab bisa membuat Anda bermasalah pada saat nanti lulus. Saat ini lembaga-lembaga penerima kerja sangat membutuhkan informasi dan bahkan sering menjadikannya syarat penerimaan karyawan dengan menunjukkan akreditasi PT Anda tersebut. Kecuali kalau Anda akan menciptakan pekerjaan sendiri, tentu sangat tergantung pada Anda sendiri,” panjang lebar Pak Guru Hadi menjelaskan.

Pak Karso tak mau ketinggalan menjelaskan hal itu. “Jika Anda belum diterima melalui ujian PTN, coba cek di website PTN tersebut, biasanya masih ada jalur seleksi mandiri atau program-program pendidikan lainnya yang ditawarkan, seperti program Apresiasi Prestasi Istimewa, Pendidikan Vokasional dan Profesional yang tidak melalui seleksi secara nasional, tetapi lokal. Bagi kalian yang akan ke PTS saya setuju dengan Pak Hadi saat ini banyak pula PTS yang sangat bagus. Kalau kalian memiliki kemampuan bahasa asing yang sangat bagus juga dapat melamar ke PT luar negeri. Banyak yang menawarkan beasiswa untuk kalian,” ujar Pak Karso.

Pak Karso juga menawarkan alternatif jika anak-anak muda itu ingin segera mengabdi menjadi pegawai negeri atau aparat sipil negara (PNS/ASN). Banyak juga perguruan tinggi kedinasan membuka kesempatan seperti STPDN, Akmil, STT Telkom, ST Statistika, dan sebagainya. Hampir semua kementerian teknis dan BUMN memiliki lembaga pendidikan tinggi untuk kepentingan instansi tersebut.

“Intinya, kalian tidak boleh putus asa, harus tetap bersemangat mencapai cita-cita khususnya untuk mengabdikan diri kalian untuk bangsa ini,” kata Pak Karso.

“Wah menarik, pernyataaan Pak Karso tadi bahwa kita harus mengabdikan diri untuk bangsa. Bukankah yang paling penting kita sukses sendiri-sendiri agar kita bisa tunjukkan bahwa kita bisa?” sahut Sujiwo yang sejak tadi duduk di situ.

“Bukan begitu Nak Jiwo,” sahut Pak Guru Hadi. “Justru sebenarnya kita harus punya peran mengabdi untuk bangsa tumpah darah kita ini. Kita belajar untuk menyiapkan diri agar kita bisa bermanfaat bagi Nusa dan Bangsa ini. Kita punya kewajiban apa yang sering kita sebut bela negara. Bela negara adalah suatu tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang dilakukan secara teratur untuk mempertahankan negara yang dilandasi cinta dan rasa memiliki kepada Tanah Air.”

Ada juga yang memaknai bela negara sebagai segala upaya untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan cara meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap Tanah Air, serta mampu berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara.

Mahasiswa juga memiliki kewajiban tersebut. Kata “wajib” diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) dan UU No. 3/2002 Pasal 9 ayat (1) yang mengandung makna setiap warga negara (termasuk mahasiswa) dalam keadaan tertentu (jika diperlukan) dapat dipaksa oleh negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara jika negara dalam keadaan bahaya.

“Saya doakan semoga kalian lulus dan menjadi mahasiswa,” kata Pak Karso.

“Aamiin,” jawab anak-anak muda itu serempak.

Suasana menjadi hening sejenak karena memang pikiran dan perasaan mereka sedang tercurah ke sana. Lik Tulus yang sejak tadi mendengarkan ikut menyela. “Apa sih pentingnya peran mahasiswa? Toh mereka masih belajar dan belum matang dalam membela negara, Pak?”

Begini Lik, walaupun mahasiswa dan pemuda masih dalam proses belajar, tetapi mereka salah satu aset negara. Sebagai penerus generasi sebelumnya, mereka akan mengambil alih tampuk pimpinan negara ini,” terang Pak Hadi, guru SD desa tersebut.

“Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change, agen perubahan. Mereka bersikap kritis dan korektif jika penguasa tidak lurus memimpin negara,” imbuh Pak Karso.

Apalagi mahasiswa tergolong kelompok minoritas dalam masyarakat. Mereka menduduki strata sosial yang tinggi, lebih-lebih jika sudah lulus dari perguruan tinggi, menjadi sarjana atau ahli, mereka adalah segelintir orang yang bisa menikmati fasilitas negara.

“Niatkan bahwa menjadi mahasiswa atau nanti menjadi sarjana atau ahli, bukan semata-mata untuk diri sendiri, untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi, menjadi kelompok elite dan lain sebagainya. Yang lebih penting adalah menyiapkan diri agar lebih peduli membela negara kita dan lebih bisa jaya lagi,” kata Pak Karso.

“Insya Allah Pak, mudah-mudahan Pak, mohon doa restunya ya Pak agar kami bisa sukses,” kata salah satu dari mereka sambil pamit pulang.

(Ravik Karsidi, Lincak Solo Pos, edisi Minggu 14 Mei 2017)


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×