Lincak

Ketenagakerjaan dan Pengangguran

TIBA-tiba suasana lincak Pak Karso sore itu menjadi seru. Beberapa orang berkerumun wedangan sambil sarasehan tentang tenaga kerja dan pengangguran. Ada kekhawatiran masyarakat menghadapi berbagai terpaan informasi bahwa ribuan tenaga asing menyerbu lapangan kerja di Indonesia. Mas Tomo, mahasiswa sebuah perguruan tinggi (PT) yang sedang pulang kampung, mengatakan semestinya PT menjadi entitas yang turut bertanggung jawab meningkatkan kepercayaan masyarakat menghadapi isu tersebut sekaligus menepis kekhawatiran masyarakat yang kadang berlebihan. Dia menyalahkan banyaknya PT di Indonesia kelihatannya tidak serta-merta mampu menyelesaikan masalah tersebut. Lik Tulus yang sejak tadi ada di kerumunan tersebut mengatakan saat ini ribuan buruh asing membanjiri pabrik-pabrik di Indonesia.

“Lalu bagaimana kita bersikap, padahal anak-anak kita masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan,” tandasnya.

Pak Dwijo, pak guru desa, tak mau ketinggalan, turut resah. Menurut dia, murid-muridnya dulu yang kini sudah lulus dari PT masih banyak yang belum bisa bekerja.

“Bahkan saya baca di koran katanya lebih dari 7 juta penduduk atau 5,5 persen tenaga kerja kita menganggur. Lalu harus bagaimana kita menyikapi khususnya lulusan PT seperti Mas Tomo ini nanti,” kata dia dengan wajah murung.

”Walah-walaaaah…, kok sangat serius sekali tampaknya perbincangan tadi ya?” kata Pak Karso yang baru saja ikut bergabung dalam lincak tersebut. Dia meminta maaf karena datang terlambat.

Soal tema perbincangan itu, Pak Karso mengakui agak menyedihkan memang bicara kondisi dan kualitas tenaga kerja di negara kita. Dia menyitir data Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 yang mencatat angkatan kerja Indonesia mencapai 127,67 juta jiwa, sekitar 60,38 persennya lulusan SMP ke bawah. Jika dijumlahkan dengan angkatan kerja lulusan SMA atau sederajat, jumlahnya mencapai 77,81 persen. Itu artinya yang lulus PT hanya 22,19 persen.

“Jadi masalah kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja kita tersebut. Itu pun belum tentu yang lulus PT juga bekerja sesuai bidangnya. Dengan kata lain mungkin mereka yang lulusan PT itu mau bekerja seadanya. Kalau demikian artinya jumlah angkatan kerja kita yang tersedia tidak sebanding dengan kesempatan kerja,” kata Pak Karso.

Belum lagi bicara soal persebaran tenaga kerja yang tidak merata. Pencari kerja rela memperoleh pekerjaan seadanya yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dimilikinya karena tertarik dengan lokasi pekerjaan tersebut. Masalah upah kerja kadang-kadang juga bisa dipermainkan dalam arti dibayar semaunya oleh yang mempunyai pekerjaan dengan alasan ada pekerja lain yang bersedia menerimanya.

“Itulah, maka muncul masalah ketenagakerjaan dan pengangguran yang tadi panjenengan semua ramaikan,” tutur Pak Karso.

Pak Wasito yang juga ada di lincak akhirnya angkat bicara. “Apa dampak bagi kehidupan kita saat ini, Pak?”

“Begini ya Pak, kita sudah ikut merasakan dampak adanya pengangguran dan masalah-masalah ketenagakerjaan ini, misalnya kalau jumlah tenaga kerja yang tersedia lebih banyak daripada kesempatan kerja, berarti secara ekonomi penawaran tenaga kerja lebih tinggi daripada ketersediaan lapangan kerja. Maka, mungkin harga tenaga kerja menjadi rendah atau murah. Dengan demikian upah tenaga kerja rendah dan penghasilan penduduk pun rata-rata juga akan rendah,” jelas Pak Karso.

“Lalu apa yang harus dilakukan mengatasi hal ini, Pak Karso, supaya kita tidak resah dan khawatir menghadapi persaingan kerja khususnya setelah diberlakukannya kawasan ekonomi ASEAN?” tanya Mas Tomo.

“Begini Nak Tomo, tidak ada cara lain dan tidak bisa dihindari, kecuali pemerintah memperbanyak upaya melalui pendidikan dan pelatihan calon tenaga kerja. Misalnya, penduduk yang berpendidikan di bawah PT perlu disediakan sebanyak-banyaknya kesempatan pelatihan dan keterampilan di tingkat kabupaten/kota hingga kecamatan,” kata Pak Karso.

Menurut Pak Karso, sekolah-sekolah vokasi seperti SMK diperluas. Pelatihan-pelatihan besertifikat diperbanyak. Pusat-pusat pendidikan luar sekolah seperti lembaga atau balai latihan kerja (LPK/BLK) dan pusat sumber belajar (PSB) perlu diperbanyak dan ditingkatkan peranannya. Orientasi masyarakat pun sebaiknya harus berubah dan diarahkan kepada penguasaan kompetensi atau kemampuan bekerja, bukan orientasi gelar.

“Lalu, bagaimana dengan yang sudah menjadi mahasiswa seperti saya ini Pak Karso?” sahut Mas Tomo.

“Menurut saya, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh PT antara lain dengan mendorong peningkatan daya saing bangsa melalui penguatan kualitas dosen yang lebih

profesional dengan menerapkan suatu strategi pembelajaran yang lebih transformatif-adaptif. Artinya bagaimana dosen bisa membekali para mahasiswanya kemampuan adaptif untuk lebih bisa menyelesaikan masalah yang dihadapinya. PT juga harus turut mendorong peningkatan kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa,” kata Pak Karso.

Menurut Pak Karso, PT harus bisa ikut membangun kebanggaan atas jati diri sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat dengan berbasis potensi keunggulan kerja lokal. Setidaknya, akan ada empat hal terjadi di sekitar kita nanti, sekaligus menjadi masalah dan tantangan kita yang harus diselesaikan oleh PT di Indonesia, yaitu akan membanjirnya tenaga kerja asing profesional; daya saing tenaga kerja Indonesia yang dinilai masih rendah; tingkat kewirausahaan penduduk dan kesiapan adaptasi sosial-budaya nasional kita yang juga masih rendah; dan akan adanya tuntutan peran dosen yang semakin profesional dalam penerapan strategi pembelajaran sebagai unsur pencetak sumber daya manusia.

Lalu, Pak Karso melanjutkan penjelasannya banyak jenis pekerjaan berbasis lokal yang apabila ditingkatkan kualitasnya akan menjadi sumber penyaluran tenaga kerja dengan upah yang tidak kalah menariknya dibanding sektor-sektor modern seperti pabrik. Misalnya di bidang pertanian dengan melakukan modernisasi teknologi pertanian. Di bidang pariwisata, bagaimana cara menarik sebanyak- banyaknya pengunjung asing ikut menikmati keindahan alam Nusantara yang tidak ada duanya di dunia. Karena itu, diperlukan ”inovasi sosial” dalam layanan pariwisata.

“Kita bisa berkaca dari orang-orang Bali yang mampu mengemas layanan yang sangat menarik. Masih banyak ‘Bali-Bali’ lain di Nusantara ini yang bisa dikemas. Kita tumbuhkan terus semangat inovasi masyarakat dalam semua bidang, yang berintikan pada mengangkat dan bangga atas keunggulan lokal kita masing-masing.”

Sebaliknya, lanjut Pak Karso, masyarakat kita jangan pernah dicekoki pendapat seakan kita ini mundur, tertinggal, dan lain-lainnya yang jelek.

“Karena itu hanya akan membawa mereka semakin terpuruk dan terus merasa minder, dan lebih lanjut tentu akan kalah bersaing,” tutur Pak Karso.

“Waaaah, benar juga ya Pak,” sahut Pak Guru Dwijo sambil menerawang.

Dia mengevaluasi diri selama ini sebagai guru ia lebih banyak membawa dan mengajak orientasi murid-muridnya ke kemajuan kota ketimbang mengangkat potensi lokal desanya.

“Jadi, terkait orientasi dan pandanganpara tenaga kerja juga akan berubah sejalan dengan perubahan adanya MEA, ya Pak?” sahut Mas Tomo.

“Benar. Walaupun banyak orang asing datang, karena kita masing- masing unggul di bidangnya, kita akan bisa menggapai kesejahteraan yang lebih baik,” kata Pak Karso. Semoga.

(Ravik Karsidi, Lincak Solo Pos, edisi Minggu, 19 Maret 2017)

 


Komentar:
Array

Komentar menjadi tanggung jawab Anda sesuai UU ITE

Ravik Karsidi

Ravik Karsidi adalah seorang Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Mendapat penghargaan Academic Leader Award – Rektor Terbaik Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum 2018 dari Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Related Articles

×